Thursday, June 9, 2016

Kapita Selekta Pendidikan Islam



Kapita Selekta Pendidikan Islam


PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM

Kritik atau keluhan yang sering di lontarkan masyarakat dan pihak orag tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
Sebagai contoh yang sering dikemukakan, anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pendidikan agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan menerjemahkan isinya.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam penguasaan materi (aspek kognitif ) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.
           Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidakberhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.

A.Pengertian Pendidikan Islam

Dalam menjelaskan arti Pendidikan Islam akan banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai pengertian dari Pendidikan Islam itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan bahwa Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi sesuai ketentuan Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Alla1h. Secara terperinci beliau mengemukakan, pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu :
1.      Tujuannya membentuk individu menjadi bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
2.       Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan menurut Ahmad Marimba bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara itu arti pendidikan Islam menurut hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 s/d 11 Mei 2010 di Cipayung Bogor, adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.
Terdapat dua istilah yang hampir sama bentuknya,yakni; Paedagogie dan Paedagogiek. Paedagogie artinya Pendidikan, sedangkan Paedagogiek artinya ilmu pendidikan. “Paedagogiek” sebelumnya berasal dari kata “Paedagogia” dan berasal dari kata “Paedagogos”. Paedagogos berasal dari kata Paedos (anak) dan Agoge (saya membimbing, memimpin).

Paedagogiek atau ilmu pendidikan ialah pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Sebelumnya paedagogiek berasal dari kata paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Termasuk hingga dirumahnya anak-anak tersebut mendapatkan pengawasan dari para paedagogos itu.

Dalam kredo Islam, tidak dibedakan antara Iman dan Amal Shaleh. Olehnya itu, pendidikan Islam sekaligus merupakan pendidikan Iman dan pendidikan Amal. Karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi dimasyarakat menuju kesejahteraan hidup perseorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.

Karakteristik Pendidikan Islam
  1. Pendidikan Islam selalu mempertimbangkan dua sisi kehidupan duniawi dan ukhrawi dalam setiap langkah dan geraknya.
  2. Pendidikan Islam merujuk pada aturan-aturan yang sudah pasti.
  3. Pendidikan Islam bermisikan pembentukan akhlakul karimah.
  4. Pendidikan Islam diyakini sebagai tugas suci
  5. Pendidikan Islam bermotifkan ibadah.

B.Tujuan Pendidikan Islam.

Tujuan adalah suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan pendidikan Islam.
Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Prof.Dr.H.Athiyah al-Abrasy mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam, yakni: “Pendidikan dan Pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.
Adapun pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi muslim yang mempunyai keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di dunia maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin hubungan kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan etos ta’awun dalam kebaikan dan taqwa.
Tujuan Pendidikan Islam dapat dibedakan dengan melihat dua aspek, yakni  Tujuan Teoritis dan Tujuan Proses. Tujuan teoritis terdiri dari berbagai tingkat, diantaranya:
  1. Tujuan Intermedier, yaitu tujuan yang merupakan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu.
  2. Tujuan Insidental, merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tujuan intermedier.
  3. Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan bathin di dunia dan di akhirat.
C. Kelemahan dan Kendala Pendidikan Islam.

Menurut Sardjito Marwan (1996:66-74) dalam berbagai kesepatan diskusi, seminar, lokakarya, penataran dan lain-lain, telah sering dikemukakan kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama.
Juga dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat melaksanakan agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa. Dalam kasus seperti ini, kiranya kurang adil kalau guru agama dituding sebagai kambing hitam
.
            Ini tidak berarti tidak ada kelemahan dipihak guru. Banyak kekurangan pihak guru agama. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan kalau muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

           Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama disekolah dasar dari tamatan PGAN selain urang mendalami  materi   yang diajarkan, juga sering kali   mengajar tanpa  memperhatikan      didaktik-metodik dan psikologianak.


D. Beberapa Tantangan Dalam Pendidikan Islam

Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurang ajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”

            Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untu ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-ko\ta besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indicator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.
Penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam dalam masa dua atau tiga decade terakhir ini jauh lebih maju, semarak dan mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde lama. Betapapun masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat islam Indonesia.
             Kesadaran masyarakat ntuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama” melaluai media masa, munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasa diniyah, pesantren kilat, taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.
Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.




E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan

Djamarah & Zain Aswan (1996:123) berpendapat, jika ada guru yang mengatakan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah ungkapan seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru. Mustahil setiap guru tidak ingin berhasil dalam mengajar. Apalagi jika guru itu hadir kedalam dunia pendidikan berdasarkan tuntunan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih atas kegagalan mendidik dan membina anak didiknya.


Betapa tingginya nilai suatu keberhasilan, sampai-sampai seorang guru berusaha sekuat tenaga dan fikiran mempersiapkan program pengajarannya dengan baik dan sistematik. Namun terkadang keberhasilannya yang dicita-citakan, tetapi kegagalan yang ditemui; disebabkan oleh beberapa factor sebagai penghambatnya. Sebaliknya, jika keberhasilan itu menjadi kenyataan, maka berbagai factor itu juga sebagai pendukungnya, Berbagai factor yang dimaksud adalah :


1. Tujuan. Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam  kegiatan  belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran. Tercapainya tujuan sama halnya keberhasilan pengajaran.
     2.  Guru. Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah. Guru adalah orang yang berpengalaman dalam bidang profesinya. Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia menjadi anak didik menjadi orang yang cerdas. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kopetensi seorang guru dibidang pendidikan dan pengajaran.
3.  Anak Didik. Anak didik adalah orang yang dengan sengaja datang ke sekolah. Orang tuanyalah yang memasukkannya untuk dididik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan dikemudian hari. Kepercayaan orang tua anak diterima oleh guru dengan kesadaran dan penuh keikhlasan. Maka jadilah guru sebagai pengemban tangung jawab yang diserahkan itu.
    4.  Kegiatan pengajaran. Pola umum kegiatan pengajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik dengan bahan sebagaiperantaranya. Guru yang mengajar. Anak didik yang belajar. Maka guru adalah orang yang menciptakan lingkungan belajar bagi kepentingan belajar anak didik. Anak didik adalah orang yang digiring kedalam lingkungan belajar yang tlah diciptakan oleh guru. Gaya mengajar guru berusaha mempengaruhi gaya belajar anak didik. Tetapi disini   gaya mengajar guru lebih dominant
            Mempengaruhi gaya belajar anak didik
5.  Bahan dan alat evaluasi. Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat didalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. Bila tiba masa ulangan, semua bahan yang telah diprogramkan dan harus selesai dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan item-item soal evaluasi.
6.  Suasana Evaluasi. Selain faktor tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, serta bahan dan alat evaluasi, faktor evaluasi juga merupakan fakor yang mempengaruhi kebersilan belajar mengajar.
    7. Teknik-Teknik Pendidikan. Sementara menurut Quthb Muhammad (1988:325), memberi komentar, tetapi lebih dari itu, Islam belum pernah pula kehabisan persediaan dalam hal teknik-teknik pendidikan dan masih banyak lagi persediaan anak-anak panah didalam kantongnya. Ia melakukan pendidikan melalui teladan, melalui teguran, melalui hukuman, melalui cerita-cerita, melalui pembiasaan, dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.


a.       Pendidikan melalui teladan. Ini adalah salah satu teknik pendidikan yang efektif dan sukses. Mengarang buku mengenai pendidikan adalah mudah begitu juga menyusun suatu metodologi pendidikan, kendatipun hal itu membutuhkan ketelitian, keberanian dan pendekatan yang menyeluruh. Namun hal itu masih tetap hanya akan merupakan tulisan diatas kertas, tergantung diatas awang-awang, selama tidak tejamah menjadi kenyataan yang hidup didunia nyata, bila tidak bisa menjamah manusia yang menterjemahkannya, dengan tingkah laku, tindak-tanduk, ungkapan-ungkapan rasa, dan ungkapan-ungkapan pikiran: menjadi dasar-dasar dan arti suatu metodologi. Hanya bila demikianlah suatu metodologi akan berubah menjadi suatu gerakan, akan menjadi suatu sejarah. Diperlukanlah teladan. Oleh karena itulah Allah mengutus Muhammad s.a.w. untuk menjadi tauladan buat manusia.

b.      Pendidikan Melalui Nasehat. Didalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulang. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Dalam pendidikan nasehat saja tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani.

c.       Pendidikan Melalui Hukuman. Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang benar. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman itu, memandang tidak layak disebut-sebut. Tetapi generasi muda yang ingin dibina tanpa hukuman itu; di Amerika, adalah generasi muda yang sudah kedodoran, meleleh, dan sudah tidak bisa dibina lagi eksistensinya. Tindakan tegas itu adalah hukuman. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali.

d.      Pendidikan Melalui Cerita. Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bagaimanapun persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari [engaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.

e. Pendidikan Melalui Kebiasaan. Kebiasaan, sebagaimana sudah kita singgung , menduduki  kedudukan yag sangant istimewa di dalam kehidupan manusia. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehinga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.
f.  Menyalurkan Kekuatan. Diantara banyak teknik Islam dalam membina manusia dan uga    dalam memperbaikinya adalah mengaktifkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan didalam jiwa dan tubuh dari diri dan tidak memendamnya kecuali bila potensi-potensi itu memang terpuruk untuk lepas.

g. Mengisi Kekosongan. Bila Islam menyalurkan kekuatan tubuh dan jiwa ketika sudah menumpuk, dan tidak menyimpannya, karena penuh resiko. Maka Islam sekaligus juga tidak  senang pada kekosongan. Kekosongan merusak jiwa, seperti halnya kekuatan terpendam juga rusak, tanpa adanya suatu keadaan istimewa. Kerusakan utama yang timbul oleh kekosongan adalah habisnya kekuatan potensial itu untuk mengisi tersebut. Seterusnya orang itu akan terbiasa pada sikap buruk yang dilakukannya  untuk untuk mengeisi kekosongan itu.


F. KEMUNGKINAN DAN KEHARUSAN PENDIDIKAN

       MUNGKINKAH MANUSIA DIDIDIK?

1.      DASAR BIOLOGIS        

                Fakta biologis menunjukkan bahwa anak manusia ketika baru dilahirkan dalam  keadaan tidak berdaya tetapi mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang karena:
  v  Kemampuan anak bersifat fleksibel
  v  Anak  manusia  mempunyai  otak yang  besar dan berpermukaan luas.

Mempunyai pusat syaraf yang berfungsi untuk menerima pengaruh dari luar dirinya sehingga dapat terjadi proses belajar.
2.    DASAR PSIKO-SOSIAL
  v  Anak manusia ketika dilahirkan membawa -bermacam-macam kemampuan potensial, yang membutuhkan stimuli dari lingkungan.
  v  Manusia merupakan makhluk sosial. Kehidupan secara  bersama  diperlukan oleh-manusia.  Dan  dalam  kehidupan bersama ini ada  proses saling mempengaruhi.
3.  Kesimpulan : MANUSIA  DAPAT  DIDIDIK

HARUSKAH MANUSIA DIDIDIK?

1. DASAR BIOLOGIS:
Untuk menyesuaikan diri  dengan lingkungannya, anak manusia tidak memiliki instink yang sempurna sbgmana dimiliki oleh hewan.
Anak manusia perlu masa belajar yang panjang  sebagai  bekal  menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara konstruktif.
2. DASAR PSIKO-SOSIO-ANTROPOLOGIS
v Untuk menghadapi kehidupan yang  dilingkupi tantangan,  manusia  harus memiliki  berbagai pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Potensi untuk ini sudah ada tinggal pengembangannya.
v Kemampuan  manusia  menyesuaikan  diri de-ngan  lingkungan  sosial bukan bawaan tetapi hanya dapat diperoleh melalui pendidikan.
v Kebudayaan  tidak  terjadi  dengan sendirinya melainkan  hasil karya  dari orang-orang yang terdidik

3.KESIMPULAN : MANUSIA HARUS DIDIDIK

PANDANGAN DAN FAKTA BAHWA PENDIDIKAN MERUPAKAN KEHARUSAN BAGI MANUSIA
           Pendapat  IMMANUEL KANT: bahwa manusia hanya dapat menjadi manusia jika dirinya memperoleh pendidikan.
           Pendapat Langevel :
          Animal educabile : manusia merupakan makhluk yang dapat dididik.
          Animal educandum : manusia merupakan makhluk yang harus dididik.
          Animal educandus : manusia merupakan makhluk yang harus dapat mendidik.
Fakta : bahwa pendidikan merupakan kebutuhan manusia



G. Pendidikan Islam pada Sekolah Umum
Alas Fikir . . .
           Kritik atau keluhan yang sering di lontarkan masyarakat dan pihak orag tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
           Sebagai contoh yang sering dikemukakan, anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pedidikan agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan menerjemahkan isinya.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam penguasaan materi (aspek kognitif) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.

* Berbagai asumsi atas justifikasi masyarakat:

1. Tingginya frekwensi perkelahian/tawuran sesama pelajar di kota-kota besar;
2. Kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang  memukul guru kalau ia tidak naik kelas;
3. Akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika;
4. Semaraknya animo pelajar dan mahasiswa untuk mengakses situs-situs pornografi;
5. Pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda;
6. Balapan liar dan dugem dikalangan anak muda.



       *Pertanyaan yang lalu muncul adalah: Di mana letak kesalahannya?
Dugaan sementara, mungkin pada:
1.      Isi kurikulum yang kurang tepat,
2.      System atau metodologi,
3.      Alokasi waktu, atau
4.      Ketidak-profesional-an sebagian dari guru agama di sekolah-sekolah umum

*Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Allah.

*Tujuan Pendidikan Islam
Untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
Sedangkan manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi muslim yang mempunyai keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di dunia maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin hubungan kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan etos ta’awun dalam kebaikan dan taqwa.

*Kelemahan dan Kendala Pendidikan Islam
Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan diantaranya adalah:
1.            Alokasi waktu yang kurang memadai;
2.            Isi kurikulum yang terlalu penuh-syarat.
3.            Sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama.
Dari kalangan orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat melaksanakan agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat -          melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa.
Note:
Disamping itu, dalam pelaksanaan pendidikan Agama di sekolah, juga terkendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan berbagai hal, diantaranya:

-          Metode;
      -     Sarana fisik dan non-fisik;
Iklim pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental-spritual dan moral.

*Beberapa faktor penghambat Pendidikan Islam di sekolah
1.      Faktor – faktor eksternal
            - Sikap apatis-fundamental sebagian orang tua tentang urgensitas pendidikan
            - Situasi lingkungan sekitar sekolah yang kadang begitu menggoda
            - Adanya gagasan baru dari para ilmuwan yang kadang disalahtafsirkan
            - Persepsi keliru dari sebagian orangtua siswa ttg tingkat pendidikan
            - Implikasi kemajuan IT dari luar negeri
       2.      Faktor – faktor internal sekolah
            - Guru kurang berkompeten untuk menjadi tenaga pengajar profesional
            - Manipulasi manajemen penempatan guru agama ke bagian admin, dsb
            - Motodologi pendekatan guru masih bersifat tradisional
- Menipisnya rasa solidaritas antara guru agama dengan guru bidang studi umum
  sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
            - Masalah waktu (jam mengajar, dan persiapan guru itu sendiri)
            - Kurikulum yang terlalu padat dan gemuk
- Relasi antara guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa
  berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
- Petugas supervisi tak berfungsi maksimal sesuai harapan, diakibatkan terdiri
   dari tenaga yang non-profesional.
* Pola Pemecahan Problem
1.      Reinterpretasi ideologi
2.      Restrukturisasi kelembagaan
3.      Reaktualisasi

Add.1: Reinterpretasi ideologi
Pemusatan perhatian pada kemajuan pendidikan Islam. Suatu interpretasi baru yang berorientasi pada tiga kemampuan dasar manusia, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Atau dengan kata lain kemampuan yang bermukim di kepala (head), dada (heart) dan tangan (hand).
Add.2: Restrukturisasi Kelembagaan
Perlunya sikap lentur kelembagaan dari struktur pendidikan Islam seperti Pesantren atau Madrasah. Bahkan lebih daripada itu, dituntut model lembaga pendidikan Islam yang berfungsi ganda.
Maksud dari fungsi ganda itu adalah:
Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya sebagai lembaga pendidikan formal agama namun lebih berorientasi sosio-religion yang berfungsi sebagai pusat pembinaan mental agama masyarakat lain (dalam artian sebagai pusat kebudayaan).
Add.3: Reaktualisasi
Teknis operasional pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan umum memerlukan perubahan yang lebih integral dengan pendidikan intelektual dan keterampilan.
Hal tersebut diperlukan guna terwujudnya keserasian dan keselarasan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional.



H. Pendidikan Islam pada Madrasah
Alas fikir . . .
Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara dalam bentuk Madrasah lahir  seiring denyut penyebaran dan perkembangan agama Islam yang dibawa oleh para ulama.
Madrasah sejatinya tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus.  Tidak heran jika madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Pada zaman sebelum proklamasi, madrasah dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang mengabaikan tujuan hidup duniawi, sehingga posisinya jauh berbeda dengan sistem sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengarahkan program-programnya kepada intelektualisasi anak didiknya guna memenuhi tuntutan hidup sekuler.
Pada tahun 1976, pemerintah melalui tiga kementeriannya yakni ketika itu masih bernama:
  1. Kementerian Agama,
  2. Kementerian P&K   Diknas;
  3. Kementerian Dalam Negeri.
lalu menyepakati surat keputusan bersama (SKB) guna mengadakan perubahan pengelolaan madrasah. Adapun substansi dari SKB tersebut ialah: lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bidang studi agama Islam 30% dan mutu bidang studi pengetahuan non-agama di madrasah sama dengan yang ada di sekolah umum menurut jenjangnya.
Sisi Plus Madrasah dari lahirnya SKB 3 Menteri; “Terjadinya intermobilitas enrollment dengan mudah dan kualitas kekuasaannya sama”
Sisi minusnya;
  1. Kurang efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan lulusan input bagi mahasiswa IAIN (sekarang UIN), disamping kekurang kualitas lulusan untuk input universitas umum.
  2. Tenaga pengelola dan programmer di lembaga pendidikan madrasah pada semua jenjang rata-rata kurang berorientasi pada profesionalisme.

Madrasah berasal dari kata “Darosa” yang berarti tempat untuk belajar. Istilah madrasah hari ini telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul pertama kali oleh penduduk “Nizapur”. Namun baru berkembang pada zaman Perdana Menteri Saljuq, yakni Nizham al-Mulk yang belakangan mendirikan madrasah Nizhamiyah yang terkenal itu (sekitar tahun 1065 M).
Madrasah kemudian berkembang pesat setelah Sultan Solahuddin al-Ayyubi melanjutkan kepemimpinan di Dinasti Abbasiyah.
Latar Belakang kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, diantaranya sbb:
  1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
  2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
  3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka

Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Madrasah atau (sekolah) sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana pemenuhan elemen-elemen institusi secara sempurna yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga lainnya. Adapun elemen-elemen institusi madrasah/sekolah terdiri dari:
  1. Utility (kegunaan dan fungsi)
  2. Actor (pelaku)
  3. Organisasi
  4. Share in society (tersebar dalam masyarakat)
  5. Sanction (sangsi)
  6. Ceremony (upacara, ritus dan simbol)
  7. Resistence to change (menentang perubahan)

Diantara sekian banyak tugas yang diemban oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, maka berikut ini salah satunya;
Merealisasikan pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip pikir, akidah dan tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan realisasi itu ialah agar anak didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT, tunduk dan patuh atas perintah-Nya, serta syariat-Nya.
Memberikan kepada anak didik seperangkat peradaban dan kebudayaan Islami, dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu eksakta, dengan landasan ilmu-ilmu agama, sehingga anak didik mampu melibatkan dirinya kepada perkembangan IPTEK pada setiap jaman.
Guna dapat memaksimalkan tugas madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tersebut, maka dibutuhkan adanya administrasi yang memadai, seperti:
  1. perencanaan,
  2. Pengawasan,
  3. Organisasi,
  4. Koordinasi,
  5. Evaluasi, dsb

Orientasi dari tertib administrasi sebuah madrasah, adalah guna melancarkan proses pendidikan yang dilaksanakan.

Berikut ini sebuah gambar, yang mendeskripsikan komponen administrasi pendidikan:

URGENSI SKB 3  MENTERI
Alas Fikir
Pendidikan Islam tidak hanya ditujukan kepada pembentukan kemampuan akal saja, melainkan tertuju kepada setiap bagian jiwa sehingga setiap bagian jiwa itu menjadi mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt.
Refleksi Historis
Kelembagaan pendidikan Islam di Nusantara pra-kemerdekaan, atau tepatnya dipenghujung abad ke-19.., mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Hal tersebut ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya beberapa pondok pesantren dan madrasah se-antero Nusantara.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia, yakni:
  1. Adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat.
  2. Adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat.
Pada sisi lain, dominasi dan intervensi berlebihan yang diterapkan kolonial-belanda kepada para pendidik (guru-kyai) dengan berbagai aturan yang muatan dan orientasinya mengucilkan peran dan eksistensi madrasah ketika itu, seperti kebijakan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus diberikan secara berkala.
Walhasil, dampak yang lahir dari kebijakan itu mencapai puncaknya ketika banyak madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.

*Tahapan Kebijakan Pemerintah  pra-SKB 3 Menteri
Pada dasarnya, sejak awal masa kemerdakaan tidak ada masalah yang prinsipil tentang pendidikan Islam dalam pengertian eksistensial. Keberadaannya di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang sudah berlangsung lama. Untuk kepentingan inipun pada tahun 1946 dibentuk Departemen Agama antara lain mengurusi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta, pengajaran umum madrasah, dan penyelenggaraan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan Islam Hakim Negeri (PIHN). Pembentukan Departemen Agama dengan beberapa tugas itupun sebetulnya sudah lebih dulu didirikan lembaga serupa pada masa pemerintahan Jepang.
Masalah pendidikan Islam baru muncul pada segi lingkup sejauhmana pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada pendidikan Islam dalam pengertian agama secara murni, atau pendidikan Islam dalam pengertian sistem yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang berdasarkan agama. Hal ini menjadi serius karena akan sangat menentukan pola dan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Kalangan Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin, sementara kalangan non-Islam membatasinya dalam lingkup pengajaran agama. Namun demikian, akhirnya ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama dalam pendidikan nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP), antara lain:
1.      Pengajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah
2.      Para guru dibayar oleh pemerintah
3.      Pada sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
4.      Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu
5.      Para guru diangkat oleh Departemen Agama
6.      Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum
7.      Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama
8.      Diadakan latihan bagi guru agama
9.      Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki
10.  Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan

Berdasarkan rekomendasi itu, maka Pendidikan Islam sangat terbatas pada pengajaran agama di sekolah-sekolah mulai kelas IV. Waktunya pun seminggu sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Dalam rekomendasi itu, pendidikan Islam dalam pengertian lembaga seperti pesantren dan madrasah tidak mendapat perhatian khusus, kecuali kalimat no.9: kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
Sampai akhir dekade 1960-an pelaksanaan pendidikan secara nasional masih bertumpu pada Undang-Undang no.4 tahun 1950 jo. No.12 tahun 1954 “tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah” seperti dapat dipahami dari namanya, Undang-Undang tersebut pada pengaturan pendidikan di sekolah. Dalam kenyataan tidak member perhatian yang cukup pada pendidikan di sekolah. Dalam kenyataannya tidak memberi perhatian yang cukup pada pendidikan di luar sekolah. Dalam pasal 2 ditegaskan bahwa undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Mengenai madrasah hanya disyariatkan dalam pasal 10 ayat 2 bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pendidikan adalah “membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Dari rumusan ini tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara terus-menerus melalui proses pendidikan. Itulah sebabnya dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama disekolah bukan mata pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua/wali murid. Dalam penjelasannya bahkan dikemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan merupakan faktor penentu dalam kenaikan kelas anak didik.
Diluar undang-undang itu, kebijakan pemerintah khususnya yang menyangkut pendidikan agama agaknya tidak statis. Sejumlah ketetapan MPRS/MPR, Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah, dan Surat Keputusan Menteri dikeluarkan. Beberapa dari keputusan itu memberi perhatian yang lebih baik pada pendidikan agama dan lembaga-lembaganya. Pada tanggal 3 Desember 1960 misalnya, keluar Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969”. Dalam kaitannya dengan pendidikan nasional, ketetapan ini antara lain menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
Perhatian serius terhadap pendidikan agama dapat diamati setelah kemunculan pemerintahan Orde Baru. Pada awal pemerintahan ini UU pendidikan nasional yang lebih sempurna memang belum bisa dirumuskan, tetapi kebijakan yang dikembangkan dalam bidang pendidikan cenderung lebih mendasar dan menyeluruh. Ketetapan MPRS No.XXVII/1966 tentang “Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan,” jelas memperlihatkan kecenderungan itu dengan menunjukkan secara kuat peran agama. Dalam konsiderannya disebutkan bahwa ketetapan itu disusun berdasarkan alas an-alasan berikut:
1.      Bahwa agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah merupakan unsur-unsur mutlak dalam rangka nation and character building
2.      Bahwa filsafat Pancasila merupakan sumber untuk mempertinggi harkat manusia
3.      Bahwa dalam rangka mempertinggi pertahanan revolusi salah satu faktor yang menentukan adalah moral dan mental manusia bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan pendidikan agama, ketetapan itu member status yang lebih berarti. Pendidikan menjadi mata pelajaran wajib yang harus diikuti semua siswa dan mahasiswa serta menjadi syarat kelulusan ujian akhir. Berbeda dengan undang-undang dan ketetapan sebelumnya, dalam ketetapan yang dimaksud, siswa dan mahasiswa tidak diberi hak untuk mengajukan keberatan dalam mengikuti pelajaran agama. Keputusan ini jelas dimaksudkan untuk menempatkan agama sebagai sendi pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah.
  Pada tahun 1958 Kementrian Agama mengusahakan pengembangan madrasah dengan memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar. Ditempuh selama delapan tahun, pendidikan didalamnya memuat kurikulum pengajaran yang terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum dan keterampilan. Namun demikian, sampai pada tahap ini, madrasah-madrasah di Indonesia tetap saja belum terorganisasi dan terstruktur secara seragam dan standar.
Menyusul program MadrasahWajib Belajar yang berjalan kurang mulus, lalu pemerintah melalui Kementerian Agama terus menata kurikulum pendidikan madrasah. Sebagai efek dari ketetapan MPRS No.XXVII/1996, pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah madrsah dalam semua tingkatan dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Melalui usaha ini sebanyak 123 Madrasah Ibtidaiyah telah dinegerikan. Total Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) menjadi 358. Dalam waktu bersamaan, juga telah berdiri sekitar 182 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Dengan memberikan status negeri, tanggung jawab pengelolaan menjadi beban pemerintah, tetapi pengaturan dan control atas madrasah-madrasah itu menjadi lebih efektif.
Langkah-langkah strukturisasi kelembagaan dan reformasi kurikulum madrasah ini menjadi agenda penting pada awal pemerintahan Orde Baru. Pada tanggal 10-20 Agustus 1970, dilakukan penyusunan kurikulum madrasah dalam semua tingkatan secara nasional di Cibodo_Bogor_Jawa Barat. Juga otonomi yang diberikan kepada Kementrian Agama untuk mengelola madrasah terus dibarengi dengan kebijakan yang mengarah pada penyempurnaan sistem pendidikan nasional.
Kurikulum madrasah tersebut ini diberlakukan secara nasional berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.52 Tahun 1971. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian terkenal dengan kurikulum 1973. Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu sudah cukup mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata pelajaran agama, tetapi juga mata pelajaran umum dan mata pelajaran kejuruan.
Pada tingkat Ibtidaiyah yang ditempuh selama tujuh tahun, kurikulum madrasah menempatkan tujuah mata pelajaran dalam kelompok dasar, delapan mata pelajaran dalam kelompok pokok, dan tiga mata pelajaran dalam kelompok khusus. Pada tingkat tsanawiyah, tiga tahu, komposisi kurikulum ditambah dengan kelompok ekstra kurikuler. Kelompok dasar, mata pelajaran yang ditawarkan sama dari mata pelajaran kelompok dasar dari kurikulum MIN. tentu saja dalam prakteknya terdapat perbedaan pada tingkat kedalam dan keluasan materi dari setiap mata pelajaran. Adapun mata pelajaran yang tergolong Ekstra Kurikuler adalah kepramukaan. Pada tingkat Aliyah struktur kurikulumnya adalah kepramukaan. Pada tingkat Aliyah struktur kurikulumnya sama dengan kurikulum MTsN yang terdiri dari empat kelompok: Dasar, Pokok, Pilihan, dan Ekstra Kurikuler. Dalam kelompok dasar diajarkan delapan mata pelajaran, dalam kelompok pokok diajarkan lima belas mata pelajaran, dan dalam kelompok khusus hanya tercantum dalam dua mata pelajaran, sedangkan dalam kelompok Ekstra Kurikuler tercatat mata pelajaran kepramukaan dan koperasi.
Dengan tersusunnya kurikulum dan struktur kelembagaan madrasah ini, pengelolaan pendidikan Agama dibawah Departemen Agama semakin memperoleh bentuk dan statusnya dengan jelas. Dalm kaitan itu, makna penting dari tersusunnya kurikulum 1973 adalah: pertama, ada standar pendidikan bagi madrasah pada setiap jenjang, yang dapat berlaku juga bagi madrasah-madrasah swasta; kedua, ada acuan yang lebih detail dalam hal mata pelajaran yang dapat dijadikan dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi pendidikan di madrasah; ketiga, dan ini yang amat penting, bahwa mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah dengan demikian telah mendapatkan landasan formal, apalagi yang dalam jumlah yang cukup tinggi melebihi jumlah yang telah dilakukan para pembaharu pada masa-masa sebelumnya.
Pada 18 April 1972 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.34 tahun 1972 tentang Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Isi keputusan ini menyangkut tiga hal:
a.       Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan  pendidikan umum dan kejuruan,
b.      Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan latihan dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
c.       Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.

Dua tahun berikutnya Kepres ini dipertegas dengan Inpres No.15 Tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
Menarik untuk dicatat bahwa kebijakan disekitar Keputusan Presiden 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Istruksi Presiden 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Dalam konteks ini madrasah tidak saja diasingkan dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan yang tidak menguntungkan diperlihatkan antara lain oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga meyakinkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam pembangunan nasional. Menyinggung tentang madrasah itu, MP3A menegaskan bahwa “yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu ialah Departemen Agama, sebab Menteri Agama lah yang lebih tahu tentang seluk-beluk pendidikan agama bukan menteri P&K atau Menteri-Menteri lain.
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa umat Islam berkeberatan jika pengelolaan pendidikan madrasah berada sepenuhnya dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Memperlihatkan aspirasi umat Islam diatas, pemerintah Orde Baru melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah secara terus-menerus. Karena itu berkaitan dengan Kepres no.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974, pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional. Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah”. Dalam SKB itu, masing-masing Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri memikul tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah.
Kelahiran SKB 3 Menteri memang antara lain untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai konsekuensi dari Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974. Menarik untuk dicatat bahwa keluarnya SKB itu berdasarkan pada hasil siding Kabinet terbatas pada tanggal 26 November 1974. Pada siding itu, Menteri Agama RI Mukti Ali menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari Kepres dan Inpres tersebut sebelumnya. Pemerintah ternyata memberikan perhatian terhadap masalah tersebut, sehingga Presiden mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974 yang isinya:
1.      Pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang tanggung jawab pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2.      Untuk pelaksanaan Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama.

Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan tersebut, ketegangan antara pendidikan agama dan pendidikan nasional memang dapat diatasi. Petunjuk pelaksanaan itu mengandung perbedaan yang cukup mendasar dengan Kepres dan Inpres tersebut. Disitu ditegaskan bahwa hal dan tanggung jawab pengelolaan pendidikan agama tetap berada pada Departemen Agama.
Sebagai tindak lanjut, Juknis diatas segera diikuti dengan penyusunan SKB 3 Menteri. Bagi kalangan yang mempertahankan eksistensi madrasah, baik dari lingkungan Departemen Agama sendiri, maupun dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penyusunan SKB 3 Menteri itu merupakan langkah strategis.
SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
1. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
2. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
4. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan bersamaan dengan itu, kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Pada tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978, kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987. penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
SKB 3 Menteri sudah mendatangkan kelegaan yang merata di kalangan madrasah, dan telah menjadikan kedudukan madrasah menjadi lebih mantap dan lebih terjamin. Tetapi hal demikian tidak berarti, bahwa pelaksanaan selanjutnya akan dapat berjalan tanpa problema-problema yang beberapa di antaranya, hanya dapat diatasi dengan kerja tekun serta senantiasa memelihara sikap sabar dan bijaksana. Ada dua persoalan penting, yaitu pertama, kurikulum dan peningkatan mutu serta kedua, menyediakan tenaga pengajar. Persoalan penyusunan kurikulum senantiasa harus memperhatikan kurikulum agama yang akan digunakan oleh madrasah-madrasah terutama madrasah swasta. Persoalan tenaga pengajar merupakan bagian yang paling menentukan, tetapi juga yang paling sulit mengatasinya dalam problem meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah. Terutama guru-guru berbagai mata pelajaran umum, yang melihat besarnya jumlah madrasah yang kurang memadai fasilitasnya. Tidak hanya itu, guru-guru mata pelajaran agama pun memerlukan penanganan yang serius dan bersifat kontinyu. 

Madrasah pasca SKB 3 Menteri
Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; ternyata banyak sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut (kurikulum 1975) dan tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok. Meskipun SKB 3 Menteri itu memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain, siswa keluaran dari madrasah memiliki kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional yang tuntas. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum meskipun pengelolaannya tetap berada ada Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
SKB 3 Menteri itu kemudian dikuatkan dengan SKB 2 Menteri, antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No. 0299/U/1984 (DikBud); 045/1984 (Agama) tahun 1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah”. Yang isinya antara lain: penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah umum maupun di madrasah.
MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) 
Sejak SKB 3 Menteri tahun 1975 dikeluarkan dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, secara formal madrasah sebenarnya sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama sebagai ciri kelembagaannya. Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu, di mana di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid terhadap ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung, karenanya kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah tersebut, tentu saja adalah hal yang terlalu riskan. 
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
 
Kelahiran MAPK yang didasari dengan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode (1983-1993). Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian beliau di masa jabatannya. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, beliau meninjau kembali SKB 3 Menteri tahun 1975, antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum. Menurut beliau, maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum dari pada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, beliau pun merasa perlu untuk menyempurnakan SKB 3 Menteri itu melalui pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud. 
Sasaran utama dari program ini adalah :
1.  Siswa Aliyah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam aspek pembiayaan
2. Siswa yang menjadikan madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan
3. Siswa yang setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut maka ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang trampil, mandiri, religius dan berwawasan ke depan.
Adapun tujuan utama dibukanya program ini adalah :
1.  Untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
2. Untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi pengembangan diri sebagai ulama yang intelek.
3.  Menyiapkan lulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon  mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.
Ide ini pun disetujui oleh Presiden Soeharto, sehingga pada tahun 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima propinsi, yaitu Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram. Keberhasilan dan perkembangan proyek ini pun mulai tampak. Antara lain bertambah jumlah MAPK sudah mencapai 110 buah, dan berhasilnya 48 alumni MAPK mengikuti proses belajar mengajar di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1991. 
Ternyata dalam perkembangannya, MAPK ini belum dapat menjadi program unggulan di madrasah Aliyah, hal ini dikarenakan masih sering terjadi benturan dalam mengatur waktu belajar antara program reguler dengan program “ekstra kurikuler ketrampilan”. Lebih-lebih bila kepada madrasahnya kurang begitu perhatian dengan program ini. Hal ini dikarenakan juga program ketrampilan ini masih dianggap program “tempelan” bagi madrasah Aliyah itu sendiri. 
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
Implikasi SKB 3 Menteri

Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain:
a.       Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah. 



b.      Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.

c.       Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa: 
1. ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
2. siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan 
3. lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.

d. Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%). 

Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien. 
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
2.Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3.Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama dalam penelitian dan sebagainya. 

Madrasah Ke Depan

Untuk peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Di samping itu, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat, apalagi kalau lebih baik. 
Persoalannya, kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.
Lalu upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar , kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi. 
Pertama, menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal sosial (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan. 
Kedua, kurangi beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada "having" tetapi "being", bukan "schooling" tetapi "learning", dan bukan "transfer of knowledge" tetapi membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar. Siswa madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa pejuang, seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja keras. Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
Ketiga, merubah beban menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau "masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau "entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi, teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan (jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun. Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah pengajian di mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan baik dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut Azyumardi Azra, inilah tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun peluang bagi umat Islam jelas masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, umat Islam telah menemukan “new attachment” yang merupakan modal yang sangat berharga bagi madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya. Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi. 
Menurut Mastuhu, madrasah dapat dikembangkan melalui kekuatan, karakter dan kebutuhannya sendiri. Kekuatan madrasah adalah lahir dari panggilan agama bahwasanya belajar dan mencari ilmu merupakan perintah wajib sepanjang hayat. Karakteristik madrasah adalah memegang tegup prinsip bahwa belajar dan menyelenggarakan usaha pendidikan adalah panggilan tugas agama, serta tidak hanya tanggung jawab sebatas kepentingan dunia tetapi juga diyakini harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti atau di hadapan Tuhan kelak. Kebutuhan madrasah adalah penguatan pada seluruh komponen pendidikannya dan pengakuan atau kepercayaan dari semua pihak. Islam pasti tidak akan mengajarkan kekerasan dan madrasah jug pasti tidak akan mengajarkan hal yang anti-negara. Madrasah membutuhkan evaluasi dan akreditasi demi kemajuan dan peningkatan mutu, serta kontribusinya bagi bangsa dan negara. 
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.


  Prinsip-Prinsip Pendidikan

ltulah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Sejak awal, Islam telah menanarnkan suatu prinsip untuk mencapai suatu kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu "membaca". Untuk mencapai kesempumaan hidup, seorang muslim harus dapat membaca fenomena yang terjadi di alam ini. Semua yang ada di hadapan kita adalah buku yang terbentang luas dengan halaman-halaman yang begitu tebal. Untuk itu, Islam menerapkan prinsip ini agar manusia yang selalu "membaca" dekat dengan Sang Pencipta, bukan menjauhi-Nya.
Bagaimana membaca?
llmu adalah kuncinya. Islam menganjurkan umatnya untuk terus mencari ilmu. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan hal itu tidak dibatasi ruang dan waktu. Dengan ilmu dunia dapat dapat diraih, dengan ilmu pula khirat didapat, keduanya hanya dapat dicapat dan dituju dengan kendaraan “ilmu”. Oleh karena itu, ikatlah ilmu. 
Islam tidak pernah memisahkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan (sains) karena semua ilmu sumbernya adalah satu. Perinsip inilah yang membuat seseorang muslim tidak berpola pikir sekuler. Agama dan ilmu, hati dan pikiran harus berjalan seiring dalam derap langkah menuju keabadian. Bacalah karena hakikat akan didapat dan rabat menunggu di akhirat. Bacalah !. 
Al-Qur'an sebagai sumber pertama dan utama dalam pendidikan Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia di segala zaman dan tempat. Petunjuk-petunjuknya patut menjadi pegangan bagi seluruh umat manusia di mana pun mereka berada dan kapan pun mereka membutuhkannya. Seandainya umat manusia senantiasa berpegang teguh kepadanya niscaya mereka tidak akan sesat selama-lamanya. Hal ini sesuai dengan jaminan yang telah diberikan oleh Nabi saw. yang berbunyi:
Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka, selama kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat sesudahnya: Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunahku .... (HR al-Hakim dan Abu Hurairah). 
Secara eksplisit, hadis di atas menjelaskan jaminan Rasulullah saw. kepada umatnya bahwa siapa saja yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Sunah niscaya tidak akan sesat selama-lamanya. Hadis di atas merupakan aplikasi dari firman Allah SWT di dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi: 
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil .... (QS AI-Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan fungsi Al-Qur'an bagi manusia di dunia ini, yaitu untuk menuntun mereka ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, Al-Qur'an merupakan pedoman yang tepat bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini agar mereka tidak salah kaprah, dan mengakibatkan kefatalan, baik terhadap diri mereka maupun keluarga dan masyarakat. Hanya, sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur'an tidak memuat petunjuk secara rinci, terutama berkenaan dengan muamalah (aturan kehidupan antara sesama umat, termasuk pendidikan). Kondisi ini membuat kita menghadapi kesulitan, yaitu ketika hendak mengaplikasikan petunjuk-petunjuk tersebut ke dalam realitas kehidupan individual, berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Meskipun demikian, kita harus mencari solusi untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur'an  agar kita selamat dan sukses dalam menempuh kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak. 
Di antara permasalahan kehidupan yang perlu menjadi perhatian kita ialah pendidikan. Ayat-ayat tentang pendidikan banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, meskipun masih bersifat umum sehingga tidak mudah diaplikasikan begitu saja ke dalam kehidupan umat. Oleh karena itu, ayat-ayat tentang pendidikan tersebut perlu dikaji secara saksama agar dapat ditangkap petunjuknya dan dapat diterapkan di tengah masyarakat untuk membimbing mereka ke jalan yang benar. 
Surat Al-'Alaq adalah salah satu surat di dalam Al-Qur'an yang turun pada periode awal. Ayat 1-5 merupakan ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw. Ayat pertama yang diturunkan Allah ini sangat sarat dengan petunjuk-Nya tentang pendidikan. Ayat tersebut dimulai dengan perintah membaca (). Membaca merupakan salah satu aktivitas dalam pendidikan yang tidak dapat diabaikan, baik membaca yang tertulis maupun membaca alam dan fenomena yang tidak tertulis. Para ahli pendidikan Islam senantiasa memasukkan ayat 1-5 dari Surat Al-'Alaq ini sebagai ayat pendidikan, seperti Ghazali, Muhammad Fadhil Jamali, Fathiyah Hasan Sulaiman, dan Hasan Langgulung. Hasan Langgulung, misalnya, mengatakan, " Seakan-akan permulaan ayat yang pertama kali turun ini sebagai pemberitahuan bahwa kitab ini mengajak kepada ilmu, judul ilmu, ajaran yang dibawanya tegak di atas dasar ilmu, dan ia akan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui. 
Dr. Utsman Najati mengemukakan bahwa Surat Al-'Alaq ayat 1-5 ini memberikan dorongan untuk membaca dan mengisyaratkan tentang karunia Allah kepada manusia dengan membekali kemampuan untuk mempelajari bahasa, bacaan, tulisan, dan ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya. 
Afzalur Rahman memasukkan ayat ke-2 dan Surat Al-'Alaq ini ke dalam kelompok ayat-ayat Al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang jenis ilmu pengetahuan biologi. Ayat ini mengisyaratkan tentang pertumbuhan manusia di dalam rahim ibu yang berasal dari segumpal darah. 
Menurut Prof. Mahmud Yunus, ayat yang pertama kali diturunkan itu berisi pendidikan keagamaan dan pendidikan akliyah ilmiyah. 
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengungkapkan prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat di dalam Surat Al-'Alaq tersebut secara keseluruhan, mencakup tujuan pendidikan, metode, materi, pendidik, peserta didik, dan lain-lain. Oleh karena itu, Surat Al-'Alaq akan dikaji ayat demi ayat. Selain itu, akan dikemukakan pula berbagai penafsiran yang diberikan oleh para ulama tafsir dan pendapat para ahli pendidikan yang berkaitan dengan masalah pendidikan di dalam surat itu. Dengan demikian, kita akan dapat mengetahui informasi Al-Qur'an tentang prinsip pendidikan di dalam surat tersebut. 
Agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru dari para pembaca dalam memahami buku ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu maksud dari judul buku ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "prinsip" mempunyai pengertian dasar, asas yang menjadi pokok atau landasan berpikir. 
Kata "pendidikan" terbentuk dari kata dasar "didik" yang diberi awalan pe dan akhiran an yang berarti proses membimbing manusia dari kebodohan menuju kecerahan pengetahuan. 
Surat Al-'Alaq adalah salah satu surat dalam Al-Qur'an yang terdiri atas 19 ayat dan merupakan surat ke-96 di dalam mushaf. 
Dengan demikian, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pendidikan dalam Surat Al-'Alaq adalah petunjuk-petunjuk Allah SWT yang berkenaan dengan dasar-dasar atau asas-asas pendidikan yang terdapat di dalam Surat Al-'Alaq. 
Surat Al-'Alaq yang terdiri atas 19 ayat ini merupakan surat Makkiyah atau surat yang diturunkan Allah pada periode Mekah. Ayat 1-5 adalah ayat-ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT di Gua Hira' ketika Nabi saw. Bertahannus. Surat ini, antara lain berisi perintah membaca, tentang alat tulis, unsur-unsur pendidikan, sifat dan keadaan manusia yang jahat serta durhaka. 
Kajian ini mengkhususkan pembahasan tentang prinsip-prinsip pendidikan yang diinformasikan oleh Al-Qur'an di dalam Surat Al-'Alaq. Artinya, informasi mengenai hal-hal yang di luar pendidikan, seperti proses penciptaan manusia dan 'alaq tidak akan dikaji, kecuali kalau hal itu ada kaitannya dengan pendidikan. Oleh karena itu, buku ini hanya membahas ayat demi ayat dari Surat Al-'Alaq tersebut dengan menelaah penafsiran-penafsiran yang sudah ada dan memadukannya dengan pendapat-pendapat para ahli pendidikan. 
Penafsiran ayat-ayat tersebut dibahas dari berbagai segi dan aspek, seperti pemakaian kosakata, kandungan makna, dan konteks pembicaraan ayat sehingga dapat ditemukan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan masalah pendidikan di dalamnya. 
Prinsip-prinsip pendidikan yang akan dikaji di dalam Surat Al-'Alaq ini berkenaan dengan pendidikan secara urnum, seperti materi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik (peserta didik), dan tujuan pendidikan. 
Ringkasnya, buku ini berisi penelaahan terhadap Surat Al-'Alaq dari awal sampai akhir, lalu dilakukan kategorisasi isi dan kandungannya. Kemudian ayat-ayat yang berisi prinsip-prinsip pendidikan akan dikaji secara mendalam sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang berbagai aspek. 
Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat menginformasikan prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat di dalam Surat Al-'Alaq dan dapat membandingkannya dengan teori-teori atau prinsip-prinsip pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan sesuai dengan petunjuk-petunjuk AI-Qur'an. 
Semoga buku yang sederhana ini dapat menambah khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang atau disiplin ilmu pendidikan Islam serta dapat mendorong umat Islam, terutama pakar pendidikan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber pertama dan utama dalam mengembangkan pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia dalam menjalani kehidupan mereka di dunia ini untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. 
Untuk melacak berbagai penafsiran dan pendapat yang dimaksudkan di atas, digunakan metode tafsir tematik. 
Dalam penerapan metode tematik (maudu'i), ulama tafsir telah menetapkan langkah-langkah'" sebagai berikut. 
1.         Mengernukakan keseluruhan ayat di dalam Surat Al-'Alaq secara berurutan, dari awal sampai akhir surat, kemudian melakukan kategorisasi terhadap isi dan kandungannya, lalu mengambil ayat yang berkaitan dengan pendidikan. Setelah itu, ayat tersebut disusun sesuai dengan kronologis turunnya. Karena yang dibahas hanya satu surat dari awal sampai akhir maka yang dipakai tetap kronologi yang terdapat di dalam mushaf, tidak perlu diurutkan sesuai urutan turunnya, apalagi jumlah ayatnya hanya 19 ayat. Jadi, tidak perlu disusun sesuai dengan urutan turunnya.
2.         Menelusuri latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun (kalau ada).
3.        Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, lalu membahasnya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, dan pemakaian kata ganti (damir).
4.         Mengkaji tafsir ayat-ayat Surat Al-'Alaq yang telah dikernukakan oleh para ahli tafsir atau pakar pendidikan dalam berbagai aliran, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
5.         Semua itu dikaji secara tuntas dan saksama dengan menggunakan penalaran ilmiah yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu'tabar serta didukung oleh argumen-argumen dari Al-Qur'an, hadis, dan fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. 
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya prinsip-prinsip pendidikan di dalam surat ini, penulis menggunakan konsep-konsep atau teori-teori ilmu pendidikan. Jadi, di samping menelaah pemahaman atau penafsiran ayat-ayatnya, penulis juga menelaah teori-teori dan konsep-konsep ilmu pendidikan, baik dari kalangan Islam maupun non-Islam. 
Dari uraian di atas, tampak kepada kita bahwa rujukan utama dari buku ini adalah Al-Qur'an. Sebagai penunjang, penulis menggunakan kitab-kitab tafsir tentang penafsiran Surat Al-'Alaq dan buku-buku yang membahas konsep-konsep dan teori pendidikan.

Konsepsi Al-Quran tentang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara ilmu pengetahuan agama dan umum. Kedua jenis ilmu pengetahuan itu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena semua itu adalah merupakan manifestasi dari  ilmu pengetahuan yang satu yaitu ilmu pengetahuan Allah. Oleh karena itu dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang religious dan non-religius (sekuler).
Pendidikan Islam tidak memandang dikotomi ilmu pengetahuan religius dan non-religius. Sebab berilmu dalam kredo Islam merupakan ketentuan yang harus dimiliki oleh setiap manusia sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahannya. Tanpa berilmu pengetahuan maka sulit bagi seseorang untuk bertahan hidup dan mempertahan ataupun bahkan menciptakan peradaban.
Beberapa Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan Islam:
1.      Prinsip Integrasi
Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.
Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77).
Ayat tersebut menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
2. Prinsip Keseimbangan
Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani.
Pada banyak ayat al-Qur’an, Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah pada QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.” .
2.       Prinsip Persamaan
Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).
4. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya.
            Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).

5. Prinsip Keutamaan
Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik.
Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).
Sedangkan menurut Heri Jauhari Muhtar, bahwa prinsip pendidikan Islam diantaranya adalah :
1. Berlangsung Seumur Hidup
Menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ‘ain yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim selama hidupnya, karena itu menuntut ilmu atau pendidikan itu berangsung seumur hidup, yakni sejak dilahirkan sampai meninggal. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa wafat dalam menuntut ilmu (dengan maksud) untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan para Nabi adalah satu derajat di Shurga”
(HR. Thabrani)
2. Tidak dibatasi ruang dan jarak
Pendidikan dalam Islam bisa dilaksanakan dimana saja. Tidak hanya di ruang kelas saja, tapi di alam terbuka juga bisa. Bahkan bukan hanya di dalam kota atau di dalam negeri saja, kalau perlu ke luar kota atau ke luar negeri. Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas orang Islam, dan bahwasanya malaikat itu akan merendahkan sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu karena rela (senang) pada orang-orang yang menuntut ilmu”
( HR. Ibnu Barri )
3.   Berakhlakul Karimah     
Menuntut ilmu sebagai realisasi pendidikan Islam haruslah memperhatikan adab atau tata tertib, baik ketika berlangsung proses pembelajaran (ta’lim wa ta’lum)
 Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas orang Islam, dan bahwasanya malaikat itu akan merendahkan sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu karena rela (senang) pada orang-orang yang menuntut ilmu”( HR. Ibnu Barri )
4. Bersungguh-sungguh dan rajin
Setiap pengalaman ibadah dalam Islam (termasuk pendidikan) haruslah dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh dan rajin (berkesinambungan) karena hanya dengan demikian akan terwujud harapan serta akan diridhai Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Khairul a’maali adwamuhaa wa in qalla”
“Sebaik-baik amal perbuatan ialah yang langgeng berkesinambungan (kontinu), sekalipun sedikit”.

5. Harus diamalkan
Setiap ilmu yang telah dimiliki, dipahami dan diyakini kebenarannya haruslah diamalkan. Manfaat ilmu baru dirasakan dan lebih berkah setelah diamalkan.
Orang yang mempunyai banyak ilmu tapi tak pernah diamalkan bagaikan pohon rindang tapi tak berbuah, jadi kurang atau tidak bermanfaat, selain itu mereka juga akan sangat menyesal di akhirat kelak.
Bersabda Rasulullah SAW; “Perumpamaan orang yang menuntu ilmu, lalu tidak mengajarkan, menyebarkan dan mengamalkannya adalah seperti orang yang menyimpan (menimbun) hartanya tapi tidak pernah membelanjakannya” ( HR. Thabrani )
6. Guna mewujudkan kemaslahatan/kebaikan hidup
Setiap ilmu yang didapat selain harus diamalkan juga harus membawa manfaat; baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi orang lain. Misalnya ada perubahan perilaku pada dirinya ke arah yang lebih baik, setelah ia mendapatkan ilmu. Begitu juga orang-orang di sekitarnya harus mendapat manfaat dari ilmu yang dimilikinya itu.
Bersabda Rasulullah SAW;
“ Apabila datang kepadaku pergantian hari-hari, sedangkan pada hari itu aku tidak menambah ilmu yang mendekatkan aku pada Allah SWT, maka aku tidak akan diberkahi pada hari itu”
(HR.Tirmidzi)

Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATI-mu!

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM UPAYA MENGANTISIPASI PERKEMBANGAN  IPTEK

Tuntutan perubahan di segala aspek kehidupan, sepertinya tidak bisa ditawar-tawar lagi, perkembangan masyarakat dunia dari waktu ke-waktu terus mendorong kearah perubahan, kita sebagai bagian dari masyarakat dunia tersebut,mau tidak mau dipaksa untuk ikut dalam perubahan itu. Sekarang ini arus globlisasi tidak terhindarkan lagi, era informasi telah merubah wajah dunia menjadi semakin indah. Era ini ditandai dengan ciri-ciri seperti menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, bersaing terus menerus belajar, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai teknologi.
Kondisi ini selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, yang pada giliranya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya Lembaga Pendidikan Islam. Oleh karena itu melalui slide ini mencoba mendeskripsikan tentang strategi pengembangan Pendidikan Islam dalam upaya mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini dan dimasa-masa mendatang.
Berikut akan dijelaskan bentuk- bentuk tantangan pada lembaga pendidikan Islam dewasa ini dan dimasa mendatang;
  1. Tantangan di Bidang Politik,
  2. Tantangan di Bidang Kebudayaan,
  3. Tantangan di Bidang Ilmu Pengetahuan & Teknologi,
  4. Tantangan di Bidang Ekonomi,
  5. Tantangan di Bidang Kemasyarakatan,
  6. Tantangan di Bidang Sistem Nilai,

Asumsi yang mendasari sehingga perlunya rumusan strategi pengembangan pendidikan Islam, yaitu:
1.      Pendidikan islam bertujuan untuk mengembangkan sumberdaya manusia untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia.
2.      Selanjutnya yaitu untuk menuntun manusia kearah metode berfikir ilmiah serta penguasaaan ilmu pengetahuan.
3.      Membantu anak-anak sera kaum muda memberi mereka semangat menuntut ilmu, keahlian dan spesialisasi dalam berbagai bidang.

Dari asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas mustahil akan terwujud tanpa adanya peran pendidikan Islam, dan untuk itu semua diperlukan suatu pendidikan Islam yang tepat.
Begitu pun sebaliknya sistem pendidikan Islam yang baik dan tepat serta universal sesuai dengan keinginan umat Islam dan umat manusia pada umumnya tidak akan tercipta tanpa adanya kepedulian dari pada intelektul muda islam yang berkualitas dan tangguh dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam.
Cukup beralasan jika kita katakan bahwa pendidikan Islam belum siap memasuki era mellinium ketiga, jika tidak segera berbenah diri di era ini akan menjadi medan kematian bagi pendidikan Islam. Untuk itu setidaknya ada empat strategi yang harus ditawarkan dalam upaya menjadikan pendidikan Islam utamanya Lembaga Pendidikan Islam yang kuat tanpa harus kehilangan jati dirinya sehingga mampu mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Keempat strategi itu adalah sebagai berikut:
  1. Strategi Substantive,
  2. Strategi  Bottom-Up,
  3. Strategi  Deregulatory,
  4. Strategi  Cooperative

Add.1   Strategi Substantive
Lembaga pendidikan Islam perlu menyajikan program-program yang kompetitif. Dilihat dari metode penyajianya, program-program tersebut menyentuh tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif (pemahaman), afektif ( penerimaan/sikap) dan psikomotorik (pengalaman).
Jika mengacu pada konsep dasar pendidikan oleh UNESCO, proses pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam harus dapat membantu peserta didik memiliki lima kemmpuan, yaitu:
to know (meraih pengetahuan) , to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to live together (hidup berdampingan), to know god’s creation (mengenal ciptaan Tuhan).
Bila semua aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan Lembaga Pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak.



Add.2   Strategi Bottom-Up
Hal ini berarti bahwa Lembaga Pendidikan Islam harus tumbuh dari bawah. Konsep dan desaign program serta struktur kelembagaan pendidikan Islam harus disesuaikan dengan potensi, situasi dan aspirasi masyarakat. Strategi ini diperlukan agar Lembaga Pendidikan Islam tidak terkesan miliki suatu rezim, Departemen Agama atau pengurus yayasan yang mengelolanya, tetapi milik masyarakat lingkunganya.
Masyarakat perlu dilibatkan agar memiliki concern (kepedulian), sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa turut bertanggung jawab) terhadap keberadaan Lembaga Pendidikan Islam di lingkungan mereka.

Add.3   Strategi Deregulatory
Lembaga Pendidikan Islam sedapat mungkin tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan baku yang terlalu sentralistik dan mengikat. Agar tidak terkesan liar atau anarkis, diperlukan kebijaksanaan khusus dari jajaran Departemen Agama atau pemerintah daerah, agar Lembaga Pendidikan Islam bebas berkreasi dan berimpropisasi, sehingga dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dimilikinya.
Lembaga Pendidikan Islam perlu di beri peluang yang seluas-luasnya untuk mendesaigne kurikulum, khususnya kurikulum local, mengembangkan sumber belajar, merekrut tenaga pengajar, terutama tenaga pengajar luar biasa dan mengembangkan organisasi sekolah sesuai kebutuhan

Add. 4   Strategi Cooperative
Lembaga Pendidikan Islam perlu mengembangkan jaringan baik antara sesame Lembaga Pendidikan Islam maupun dengan Lembaga Pendidikan lain. Disamping itu, Lembaga Pendidikan Islam memerlukan semangat kepeloporan dan kerjasama saling menguntungkan dengan semua unsur dalam masyarakat.




  PROFESIONALISME DALAM PENGELOLAAN MADRASAH
Alas Fikir
Islam pada awal perkembangannya sudah mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. Lembaga pendidikan dan pengajaran pada saat itu dinamakan kuttab, disamping masjid, rumah, istana, dan perpustakaan. Kuttab adalah suatu lembaga pengajaran yang khusus sebagai tempat belajar membaca dan menulis. Pada mulanya guru-guru kuttab tersebut adalah orang-orang non-muslim, terutama orang-orang Kristen, Yahudi bahkan yang non-kepercayaan (atheis). Oleh karenanya pada awal Islam kuttab dijadikan tempat belajar membaca dan menulis saja, sedangkan pengajaran al-Qur’an dan dasar-dasar agama diberikan di masjid oleh guru-guru khusus.
Jumhur Sejarawan sepakat bahwa Madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum 10 M), sebab madrasah pertama yang diketahui berdiri adalah Madrasah al-Baihaqiyah di Naisabur. Al-Baihaqiyah yang didirikan di Naisapur oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi (w. 414 H). Hasil penelitian seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972, mengungkapkan bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidzhamiyah di Baghdad sudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yang tertua yaitu: ´Miyan Dahiyau yang mengajarkan fiqh Maliki.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam salah satu tulisannya mengenai pesantren mengatakan bahwa: “Sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan antara doktrin-doktrin formal Islam dan kultus para wali, yang berpuncak pada walisongo, sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermets) dalam agama Hindu”.
Perwujudan ini, tampak nyata sekali dalam ascetisme  yang menjadi warna kental dari kehidupan agama Islam di negeri ini.
Madrasah yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya Adabiyah School. Pada tahun 1915 diubah menjadi HIS Adabiyah. Pada tahun 1910 di Padang juga didirikan sekolah agama dengan nama Madrasah School, yang pada tahun 1923 menjadi Diniyah School. Madrasah ini didirikan dengan harapan dapat mencetak ahli agama yang mampu berkomunikasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan umum dan mengurangi perbedaan antara lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan sekuler bentukan penjajah.
Memasuki abad ke-20, muncul kesadaran akan pentingnya sarana pendidikan ditingkatkan lagi, dan kesadaran ini rata-rata muncul pada dunia Islam dengan asumsi bahwa pendidikan tidak sekedar sebagai sarana untuk mentransmisikan ide-ide pembaharuan Islam kepada peserta didik saja, melainkan harus dengan pemenuhan sarana/media kreatif yang bertujuan untuk memudahkan proses transmisi ilmu pengetahuan tersebut. Disamping itu, ada beberapa variabel yang menjadi faktor pendorong lahirnya gerakan pembaharuan diantaranya ialah semakin intensifnya interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengah, seperti Haramain dan Kairo, dengan kelompok-kelompok terpelajar Muslimdi Indonesia.

Madrasah Dalam Lintasan Sejarah
Dekade awal abad 20, gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan atau setidaknya berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sistem madrasah didirikan sebagai reaksi konstruktif  terhadap sistem pendidikan tradisional, khususnya pesantren di jawa dan surau di sumatera. Usaha pembaharuan pendidikan Islam tidak berlangsung mudah, karena tercatat dalam fakta sejarah, telah menimbulkan ketegangan dan gejolak sosial yang melibatkan kaum-muda (kalangan pembaharu) dengan kaum-tua (kalangan konservatif).

Profesionalisme Madrasah era Klasik
Pengelolaan pendidikan Islam dengan sistem Madrasi memungkinkan cara belajar klasikal. Hal tersebut berbeda dengan cara yang berlaku di Pesantren ataupun Surau yang semula telah mem-baku, yakni bersifat individual seperti terdapat pada sistem sorongan dan wetonan. Pengelolaan sistem Madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan-pengelompokan pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyajiannya secara bertingkat-tingkat (periodik-method).

Profesionalisme Madrasah era Modern
Profesionalisme pengelolaan Madrasah pada era-modern tak terlepas dari sisi universalisme kredo Islam dalam pergumulannya dari zaman ke zaman.            Pengelolaan sistem Madrasi mengorganisasi kegiatan pendidikannya dengan sistem kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan.

PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam yang mencangkup semua aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia sebagai hamba Alloh sebagaimana Islam sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat.
LANDASAN DASAR PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat pendidikan adalah segala upaya dan usaha untuk menjadikan manusia dewasa sesuai tujuan pendidikan
Azas pendidkan Islam adalah perkembangan dan pertumbuhan dalam perikehidupan yang seimbang dalam semua seluk beluk kehidupan secara adil, merata, menyeluruh dan integral.
Model dasar pendidian Islam adalah kemampuan dasar untuk berkembang dari setiap individu sebagai karunia Tuhan.
Sasaran pendidikan Islam adalah mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan dunia-akhirat.
HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat pendidikan Islam adalah menyadarkan manusia  :
  1. Sebagai makhluk individu yang diciptakan Tuhan yang paling sempurna dan lebih mulia dari makhluk lain (QS. As-Shaad: 71-72),
  2. Memiliki kedudukan yang lebih tinggi (QS. Al-Isra’: 70).
  3. Diberi beban tanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat (QS. Al-Isra’: 15).
  4. Sejalan hal itu, menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial yang harus mengadakan interelasi (QS. AL-Anbiya’: 92),
  5. Berinteraksi, gotong-royong dan bersatu (QS. Al-Imran: 103),
  6. Bersudara (QS. Al-hujurat: 10), tanpa membedakan berbagai perbedaan baik bahasa atau warna kulit (QS. Ar-Ruum: 22). Disamping itu juga tidak melupakan bahwa manusia sebagai hamba Alloh yang diberi fitrah untuk beragama.
  7. Sehingga watak dan sikap religiusnya perlu dikembangkan agar mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya sesuai firman Alloh dalam surat Al-An’am: 102-103.

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan pendidikan Islam secara instruksional adalah
  1. TIK, mengarahkan anak untuk menguasai suatu ilmu khusus
  2. TIU, mengarahkan anak untuk menguasai semua ilmu secara umum sebagai kebulatan
  3. Kurikuler, agar mencapai garis besar program pengajaran di institusi pendidikan
  4. Institusional, tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di setiap intitusi
  5. Umum atau nasional, cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui pendidikan formal/ non-formal.
Sedangkan berdasarkan tugas dan fungsi manusia secara filosofis adalah:
  1. Individu, belajar mempersiapkan manusia untuk hidup dunia dan akhirat
  2. Sosial, berhubungan dengan kehidupan manusia dengan masyarakat
Profesional, menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi sebagai kegiatan di masyarakat.
MODEL PENDIDIKAN ISLAM
Model Pendidikan Islam dengan pendekatan Sistem:
Secara sistemik manusia dipandang sebagai makhluk integralistik
Secara pedagogis pendidikan Islam sebagai pengembang potensi dasar secara integral antara rohani dan jasmani untuk membentuk manusia muslim.
Secara institusional pendidikan Islam adalah bentuk pendidikan yang bejenjang
Secara kurikuler pendidikan Islam mengarahkan seluruh komponen dan faktor-faktor pendukung pendidikan untuk mewujudkan cita-cita Islami.
Pendekatan Pedagogis dan Psikologis. Dengan pendekatan ini pendidikan menganggap manusia sebagai makhluk yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan baik secara jasmani dan rohani. Pendekatan sistem ini menganalisis lima unsur pendidikan yaitu:
Pendidik, harus memenuhi sebagai seorang  pendidik yang ideal
Anak didik diposisikan sebagai objek pendidikan
Alat pendidikan
 Lingkungan
Tujuan pendidikan Islam


Model Pendidikan Islam dengan pendekatan Spiritual
Dalam pandangan agama manusia diberi dua pilihan yaitu jalan sesat yang mejerumuskan ke jurang nista dan jalan kebenaran yang menuntun manusia menuju keridhaan Alloh. Sehingga merasakan bahagia dunia-akhirat.
Proses pendidikan harus mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang dedikatif dan berserah diri kepada Alloh. Materi pendidikan harus mengarahkannya dari asal-usul manusia sehingga dia akan mengerti arti hidup.
Kurikulum materi pendidikan harus mengandung nilai-nilai Islami.
Strategi operasional pendidikan adalah meletakkan anak didik dalam posisi pendidikan seumur hidup.

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN ISLAM
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nissa: 9 yang berbunyi:

واليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله واليقولوا قولا سديد
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ada 3 macam kedudukan anak yaitu:
1. Anak sebagai perhiasan;
2. Anak sebagai sumber penderitaan;
3. Anak sebagai penyejuk hati (anak yang sholeh).
Untuk mendapatkan anak yang sholeh, anak sebagai penyejuk hati diperlukan pendidikan yang
baik semenjak dini yang berdasarkan pada Islam.

MATERI PENDIDIKAN ISLAM
Para tokoh pendidikan Islam masa lalu membagi ilmu menjadi beberapa bagian.
Al-Farabi membagi materi menjadi ilmu bahasa, sains persiapan, fisika dan metafisika, dan ilmu kemasyarakatan. Ibnu Kholdun membagi menjadi ilmu syariah, filsafat, ilmu alat yang membantu agama dan ilmu alat yang membantu faldafah.
Sedangkan secara umum al-Ghazali membagi menjadi ilmu fardu ‘ain (agama: al-qur’an, hadits dan ilmu bahasa) dan fardu kifayah (dunia: sains dan sosial). Dan Ibnu Sina membagi menjadi ilmu teori (mipa dan ) dan ilmu praktik (akhlak dan politik).

METODE DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM
Metode suasana gembira (QS. Al-Baqarah: 25 dan 185)
Metode lemah lembut (QS. Al-Imran: 159)
Metode bermakna (QS. Muhammad: 16)
Metode prasyarat atau muqadimah (QS.Al-Baqaah: 1-2)
Metode komunikasi terbuka (QS. Al-A’raf: 179)
Metode memberikan pengetahuan baru (QS. Al-Baqarah: 164 dan Al-Fushilat: 153)
Metode uswatun hasanah (QS. Al-Ahzab: 21)
Metode praktek atau pengamatan aktif (QS. As-Shof: 2-3 dan Al-Baqarah: 25)
Metode bimbingan, penyuluhan (QS. Al-Anbiya’: 107 dan An-Nahl: 25)
Metode cerita (QS. Al-A’raf: 176)
Metode perumpamaan (QS. Ibrahim: 18)
Metode hukuman dan hadiah (QS. Al-Ahzab: 72-73)

















No comments:

Post a Comment